Beranda Asal Usul Riwayat Hidup Siddharta Gautama Bagian 3

Riwayat Hidup Siddharta Gautama Bagian 3

0
Riwayat Hidup Siddharta Gautama Bagian 3

Riwayat Hidup Siddharta Gautama Bagian 3 – Masa Remaja Pangeran Siddharta

Sewaktu Pangeran meningkat usianya menjadi 16 tahun, Raja memerintahkan untuk menyebabkan tiga buah istana yang besar dan indah, satu istana untuk musim dingin (Ramma), satu istana untuk musim panas (Suramma) dan satu istana untuk musim hujan (Subha). Kemudian Raja mengirim undangan kepada para orang tua yang mempunyai anak gadis untuk mengirimkan anak gadisnya ke pesta, di mana Pangeran bakal memilih seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun para orang tua selanjutnya ternyata tidak mengacuhkannya. Mereka mengatakan bahwa Pangeran tidak mengetahui kesenian dan pengetahuan peperangan, maka bagaimana ia kelak dapat pelihara dan melindungi istrinya.

Ketika hal ini diberitahukan kepada Pangeran, maka Pangeran mohon kepada Raja supaya segera mengadakan satu sayembara, di mana beragam pengetahuan peperangan dipertandingkan. Dalam sayembara itu, Pangeran bertanding melawan pangeran-pangeran lain yang berkunjung dari segenap penjuru negara Sakya, apalagi terhitung pangeran-pangeran dari negara lain.

Semua pertandingan seperti naik kuda, menjinakkan kuda liar, pakai pedang, dan memanah ternyata dimenangkan oleh Pangeran. Khusus didalam hal memanah, Pangeran tidak tersedia tandingannya. Untuk membentangkan busur yang dipakai oleh Pangeran saja mereka tidak dapat gara-gara busur itu besar dan berat, supaya untuk membawanya ke tempat pertandingan harus digotong oleh empat orang.

Dengan mendapat sambutan yang meriah sekali dari para hadirin, Pangeran dinyatakan sebagai pemenang mutlak dari sayembara tersebut.

Dalam sebuah pesta besar yang kemudian diadakan dan dihadiri oleh tidak tidak cukup dari empat puluh ribu orang gadis cantik, pilihan Pangeran jatuh kepada seorang gadis bernama Yasodhara yang tersedia ikatan keluarga bersama dengan Pangeran gara-gara ia adalah anak pamannya yang bernama Raja Suppabuddha dari negara Devadaha dan bibinya, Ratu Amita (adik Raja Suddhodana).

Setelah Pangeran Siddharta menikah bersama dengan Putri Yasodhara, maka kecemasan Raja Suddhodana agak berkurang gara-gara Raja senantiasa ingat bersama dengan ramalan dari pertapa Asita bahwa Pangeran kelak bakal menjadi Buddha.

Dengan pernikahan ini, Raja menghendaki Pangeran bakal lebih diikat kepada hal-hal duniawi. Sekarang tinggal melindungi supaya Pangeran jangan lihat empat momen berkenaan kehidupan, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa suci.
Karena itu Raja memerintahkan pengawal-pengawalnya supaya Pangeran dijaga jangan sampai lihat empat hal tersebut.

Apabila tersedia dayangnya yang sakit maka dayang itu bakal segera disingkirkan. Semua dayang dan pengawalnya adalah orang-orang muda belia. Selanjutnya Raja memerintahkan untuk menyebabkan tembok tinggi mengelilingi istana dan kebun bersama dengan pintu-pintu yang kokoh kuat, dan dijaga siang dan malam oleh orang-orang kepercayaan Raja.

Dengan demikianlah Pangeran Siddharta dan Putri Yasodhara memadu cinta di tiga istananya yang mewah sekali dan senantiasa dikelilingi oleh penari-penari dan dayang-dayang yang cantik-cantik

Raja merasa senang bersama dengan apa yang telah dikerjakannya dan menghendaki bahwa Pangeran kelak dapat menggantikannya sebagai Raja negara Sakya.

Melihat Empat Peristiwa

Pangeran tidak senang bersama dengan cara hidup yang dianggap layaknya orang tawanan dan terpisah sama sekali berasal dari dunia luar.
Pada suatu hari Pangeran mendatangi ayahnya dan berkata, “Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan ke luar istana untuk lihat tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan kuperintah.”

Karena keinginan ini wajar, maka Raja memberikan izin. “Baik, anakku, engkau boleh muncul berasal dari istana untuk lihat bagaimana penduduk hidup di kota. Tetapi di awalnya aku harus memicu persiapan agar segala sesuatunya baik dan patut untuk terima kehadiran anakku yang baik.”

Setelah rakyat selesai hiasi kota layaknya diperintahkan oleh Raja, maka Raja memanggil Pangeran untuk menghadap. “Anakku, saat ini engkau boleh pergi melihat-lihat kota sepuas hatimu.”

Sewaktu Pangeran sedang berjalan-jalan di kota, bersama dengan tiba-tiba seorang tua muncul berasal dari sebuah gubuk kecil. Rambut orang itu panjang dan sudah putih semua, kulit mukanya kering dan keriput, matanya sudah hampir buta, pakaiannya compang-camping dan kotor sekali. Giginya sudah ompong, badannya kurus kering dan bersama dengan ada problem payah dan juga terbungkuk-bungkuk ditopang oleh sebuah tongkat berjalan tanpa mengacuhkan orang-orang di sekelilingnya yang sedang bergembira. Dengan suara lemah dan perlahan sekali ia meminta-minta makanan dan mengatakan jikalau tidak diberi makanan, ia pasti akan mati hari itu juga gara-gara ia lapar sekali dan sudah beberapa hari tidak makan.

Melihat orang tua itu, Pangeran terkesan sekali gara-gara hal layaknya ini baru pertama kali dilihatnya.

“Apakah itu, Channa? Itu tidak kemungkinan seorang manusia. Mengapa ia bungkuk sekali? Mengapa ia gemetar sewaktu berjalan? Mengapa rambutnya putih dan bukan hitam layaknya rambutku? Apa yang tidak benar bersama dengan matanya? Dan giginya dikemanakan? Apakah ada orang yang terlahir layaknya itu? Coba katakan, oh Channa yang baik. Apakah berarti semua ini?”

Channa menerangkan kepada Pangeran bahwa semua itulah situasi seorang tua, namun bukan keadaannya sewaktu dilahirkan. “Sewaktu masih muda, orang itu layaknya kami dan gara-gara saat ini ia sudah tua sekali maka keadaannya sudah berubah layaknya yang Tuanku lihat. Sebaiknya Tuanku lupakan saja orang tua tersebut. Setiap orang jikalau sudah terlalu lama hidup di dunia akan menjadi layaknya orang itu. Hal itu tidak mampu dielakkan.”

Tetapi Pangeran tidak senang bersama dengan jawaban Channa. Pangeran memerintahkan untuk langsung ulang ke istana gara-gara panorama orang tua yang baru saja ia lihat sudah membuatnya sedih sekali, dan ia mendambakan merenungkan masalah ini bersama dengan lebih mendalam. Mengapa sebagai seorang Pangeran dan juga orang-orang lain pada suatu hari harus menjadi tua, lemah dan sedih, dan tidak ada seorangpun yang mampu mencegahnya, walaupun ia kaya, terpandang atau berkuasa?

Malam itu diselenggarakan sebuah pesta besar untuk menghibur Pangeran. Tetapi Pangeran acuh tak acuh saja, dan tidak tampak gembira sewaktu berlangsungnya pesta makan dan tari-tarian. Ia sedang repot merenung dan didalam hati berkata kepada mereka yang hadir, “Pada suatu hari engkau semua akan menjadi tua, tanpa ada yang jikalau dan begitu pula engkau yang tercantik.”

Setelah pesta usai dan Pangeran masuk ke kamar tidur, anggapan itu masih selamanya saja mengganggunya. Di daerah tidur, ia masih merenung bahwa suatu hari semua orang akan menjadi tua, rambutnya putih, kulitnya keriput, ompong dan buruk layaknya tukang minta-minta yang baru saja ia lihat. Ia mendambakan memahami apakah ada orang yang sudah menemukan cara untuk menghentikan hal yang menyeramkan itu, yakni usia tua.
Setelah masalah ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali dan ia jadi cemas bahwa hal ini mampu memicu Pangeran meninggalkan istana. Karena itu, Raja memerintahkan kepada dayang-dayangnya untuk lebih kerap mengadakan pesta-pesta makan dan tari-tarian.

Berselang beberapa hari, Pangeran ulang memohon kepada Raja agar diperkenankan ulang melihat-lihat kota Kapilavatthu, namun saat ini tanpa lebih-lebih dahulu memberitahukannya kepada para penduduk.

Dengan berat hati Raja memberikan izinnya, gara-gara Beliau tahu, tidak ada gunanya melarang gara-gara hal itu pasti akan memicu Pangeran terlalu sedih.
Pada peluang ini, Pangeran pergi bersama Channa dan kenakan pakaian layaknya anak keluarga bangsawan gara-gara ia tidak mendambakan dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.

Hari itu panorama kota berbeda sekali. Tidak ada penduduk berkumpul untuk mengelu-elukannya, tidak ada bendera-bendera, tunggul-tunggul, bunga-bunga, dan penduduk yang kenakan pakaian rapi. Tetapi hari itu Pangeran lihat penduduk yang sedang repot bekerja.
Seorang pintar besi bersama dengan badan penuh keringat sedang memicu pisau. Seorang pintar emas sedang memicu kalung, gelang, kerabu, dan cincin berasal dari intan, emas, dan perak.

Seorang tukang celup baju sedang mencelup baju didalam bermacam ragam warna yang bagus-bagus dan lantas menjemurnya. Tukang kue sedang repot memanggang roti dan kue, lantas menjualnya kepada langganannya yang lantas memakannya sementara masih panas.

Pangeran memperhatikan orang-orang kecil ini yang simple dan semua orang tampak repot sekali, senang dan senang bersama dengan pekerjaannya. Tetapi Pangeran juga lihat seorang yang sedang merintih-rintih dan bergulingan di tanah bersama dengan kedua tangannya memegangi perutnya. Di muka dan badannya terkandung bercak-bercak berwarna ungu, matanya berputar-putar dan nafasnya megap-megap.

Untuk kedua kalinya didalam hidupnya, Pangeran lihat suatu hal yang memicu Beliau terlalu sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang, bersama dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya, letakkan kepalanya di pangkuannya dan bersama dengan suara menghibur menanyakan, “Mengapakah engkau, engaku mengapakah?” Orang sakit itu sudah tidak mampu menjawab. Ia menangis tersedu-sedu.
“Channa, katakanlah, mengapakah orang ini? Apakah yang tidak benar bersama dengan nafasnya? Mengapa ia tidak bicara?”

“Oh, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dan darahnya beracun. Ia terserang demam pes dan semua badannya jadi terbakar. Oleh gara-gara itulah ia merintih-rintih dan tidak ulang mampu bicara.”
“Tetapi adakah ulang orang lain layaknya dia?”
“Ada, dan Tuanku kemungkinan orangnya jikalau Tuanku memegangnya layaknya itu. Mohon bersama dengan terlalu agar Tuanku meletakkannya ulang di tanah dan jangan menyentuhnya ulang gara-gara pes itu terlalu menular. Nanti Tuanku juga akan sakit.”
“Channa, masih banyakkah hal-hal buruk layaknya ini tak hanya sakit pes?”
“Memang,Tuanku, ada ratusan penyakit yang sama hebatnya layaknya sakit pes.”
“Apakah tidak ada orang yang mampu menolongnya? Apakah semua orang mampu terserang penyakit? Apakah penyakit singgah secara mendadak?”
“Betul, Tuanku, semua orang didalam dunia mampu terserang penyakit. Tidak ada orang yang mampu mencegahnya, dan itu mampu berjalan tiap-tiap saat.”

Mendengar ini, Pangeran menjadi tambah sedih dan ulang ke istana untuk merenungkan hal ini. Raja jadi sedih gara-gara lihat Pangeran pada sementara akhir-akhir ini layaknya tidak cukup gembira sehubungan bersama dengan kejadian-kejadian yang sudah dilihatnya.

Berselang beberapa hari, Pangeran ulang mohon kepada Raja agar diperkenankan ulang melihat-lihat kota Kapilavatthu.
Raja menyetujuinya gara-gara beranggapan tidak ada gunanya ulang saat ini untuk melarang.

Pada peluang ini Pangeran yang kenakan pakaian sebagai anak seorang bangsawan bersama dengan diiringi Channa, berjalan-jalan di kota Kapilavatthu. Tidak lama lantas mereka berpapasan bersama dengan serombongan orang yang sedang menangis ikuti sebuah usungan dipikul oleh empat orang.

Di atas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali didalam situasi tidak bergerak. Kemudian rombongan mempunyai usungan itu ke pinggir sebuah sungai dan meletakkannya di atas tumpukan kayu yang lantas dinyalakan api.
Orang selanjutnya selamanya diam saja dan tidak bergerak walaupun api sudah membakarnya berasal dari semua sudut.

“Channa, apakah itu? Mengapa orang itu berbaring di sana dan membebaskan orang lain membakar dirinya?”
“Dia tidak memahami apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati.”
“Mati! Channa, apakah ini yang dinamakan mati? Dan apakah semua orang pada suatu sementara akan mati?”
“Betul, Tuanku, semua makhluk hidup pada suatu sementara harus mati. Tidak ada seorangpun yang mampu mencegahnya.”

Pangeran heran dan kaget sekali, sehingga tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Pangeran berpikir bahwa terlalu mengerikan situasi yang disebut ‘mati’ itu yang harus dialami oleh tiap-tiap orang, walaupun ia seorang Raja atau anak berasal dari seorang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang, dan di kamarnya ia merenungkan masalah ini sepanjang hari.

“Semua orang di dunia ini pada suatu sementara harus mati, belum ada orang yang memahami bagaimana cara untuk menghentikannya. Aku harus mencarinya dan menolong dunia ini.”

Sewaktu Pangeran mendatangi Kapilavatthu untuk keempat kalinya, di sebuah taman, Pangeran berhenti dan duduk beristirahat di bawah pohon jambu. Tiba-tiba Pangeran lihat seorang pertapa berjubah kuning bersama dengan mempunyai mangkuk di tangan menghampirinya.

Pangeran berikan salam kepada pertapa selanjutnya dan bertanya faedah mangkuk yang sedang dipegangnya.

Pertapa itu menjawab, “Pangeran yang mulia, aku ini seorang pertapa. Aku menjauhi diri berasal dari keduniawian, meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati. Mangkuk ini aku bawa untuk menginginkan makanan berasal dari mereka yang berbelas kasih. Selain berasal dari itu, aku tidak mendambakan hal-hal dan barang-barang duniawi.”

Pangeran terkejut gara-gara ternyata pertapa ini mempunyai anggapan dan cita-cita yang sama bersama dengan dirinya.
“Oh, Pertapa suci, di manakah obat itu harus dicari?”
“Pangeran yang mulia, aku mencarinya didalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat, jauh berasal dari problem dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”

Kemudian pertapa itu berlalu dan terus menghilang. Konon diceritakan bahwa pertapa itu adalah seorang dewa yang mendambakan menolong Pangeran Siddharta.
Pangeran jadi gembira sekali dan berkata di didalam hati, “Aku juga harus menjadi pertapa layaknya itu!”

Tidak lama kemudian, datanglah dayang-dayang yang spesifik mencari Pangeran untuk memberitahukan bahwa Putri Yasodhara sudah melahirkan bayi laki-laki yang sehat. Mendengar berita ini, Pangeran bukannya bergembira namun mukanya justru menjadi pucat. Pangeran mengangkat kepalanya menghadap langit yang tinggi dan lantas berkata,

“Rahulajato, bandhanam jatam.”

artinya

“Satu jerat telah terlahir, satu ikatan telah terlahir.”

Karena ucapan ini maka bayi yang baru lahir kemudian diberi nama “Rahula”.

Dalam perjalanan pulang ke istana, Pangeran bertemu dengan Kisa Gotami yang karena kagumnya mengucapkan kata-kata sebagai berikut :

“Nibbuta nuna sa mata,
Nibbuta nuna so pita,
Nibbuta nuna sa nari,
Yassa yam idiso pati.”

yang artinya

“Tenanglah ibunya,
Tenanglah ayahnya,
Tenanglah istrinya,
Yang mempunyai suami seperti Anda.”

Pangeran terkejut dan tergetar hatinya mendengar perkataan “Nibbuta” yang berarti: “tenang, padam semua nafsu-nafsu”, sehingga Beliau menghadiahkan Kisa Gotami sebuah kalung emas yang sedang dipakainya.

Riwayat Hidup Siddharta Gautama Bagian 3 akan berlanjut di Bab 2 Pelepasan Agung

Pangeran Siddharta Meninggalkan Istana

Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja menyelenggarakan satu pesta yang besar dan meriah. Tetapi Pangeran kelihatan tidak gembira. Pangeran dengan hati-hati mendekati Raja dan mohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit, dan mati. Hal ini menimbulkan amarah Raja. Selanjutnya Pelepasan Agung